APBN 2015 baru saja ditetapkan melalui paripurna DPR pada 29
September 2014. Bagi kalangan pegiat pemberdayaan desa, penetapan APBN
2015 menjadi jawaban pasti atas perdebatan dan silang sengkarut
mengenai besaran alokasi dana desa maupun keberlanjutan PNPM.
Dalam
APBN 2015, dana desa yang bersumber dari APBN ditetapkan sebesar 9,1
Triliun. Besaran dana desa itu berasal dari realokasi anggaran PNPM di
Kementerian Dalam Negeri. Kementerian Keuangan sendiri juga sudah
menetapkan rincian alokasi dana desa per kabupaten.
Meski
demikian, kemungkinan besar APBN akan dilakukan perubahan lebih cepat
pasca pelantikan Presiden terpilih, Jokowi, pada 20 Oktober2014 nanti.
Berdasarkan pemberitaan media akhir-akhir ini, perubahan utama yang
akan dilakukan pada APBN setidaknya terkait dengan review alokasi
subsidi BBM dan dana desa. Subsidi BBM dikurangi dan otomatis harga BBM
naik, sedangkan alokasi dana desa akan ditingkatkan secara signifikan
dari alokasi sebelumnya.
Pada perubahan nanti, alokasi BLM
PNPM kemungkinan kecil akan mendapat alokasi dari APBN-P 2015. Hal ini
sejalan dengan implementasi UU Desa, dimana meminjam istilah Budiman
Sujatmiko, UU Desa adalah PNPM plus. Keberhasilan PNPM telah menjadikan
para pengambil kebijakan untuk melembagakannya melalui undang-undang
ini. Alhasil, meneruskan PNPM di tengah implementasi UU Desa justru akan
menjadi tumpang tindih dan tidak efektif.
Kunci Sukses Pendampingan PNPM.
Komponen
penting yang menjadi kunci sukses PNPM, salah satunya adalah
efektifitas pengelolaan pendampingan. Fasilitator PNPM dikelola oleh
Kemendagri melalui SOP yang sangat tegas dan terstandard. Tidak sedikit
fasilitator yang di PHK karena terbukti melanggar kode etik. Meskipun
hal-hal teknis dilimpahkan (dekonsentrasi) kepada Bapemas Provinsi,
namun hal-hal strategis tetap tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan
pusat.
Alhasil, meski lokasi tugas fasilitator ada ditingkat
kecamatan, namun ia menjadi kepanjangan tangan bagi pemerintah pusat.
Posisi seperti inilah yang menjadikan fasilitator mampu membebaskan diri
dari intervensi birokrasi, baik ditingkat kabupaten maupun birokrasi
kecamatan.
"Fasilitator itu asset program yang digaji dari
APBN, bukan Pegawai Bapemas, apalagi anak buah camat" demikian kalimat
yang disering terlontar dari para fasilitator untuk menangkal intervensi
birokrasi lokal.
Sukses program lepas dari intervensi aparat
birokrasi lokal, oleh pihak-pihak tertentu, sering diputarbalikkan
dengan memunculkan stigma yang mendiskreditkan, seperti "PNPM membuat
negara sendiri", "PNPM berdiri sendiri", "PNPM tidak melibatkan
birokrasi" dan berbagai sebutan lainnya. Meskipun kenyatannya tidak
demikian, namun fasilitator pasti memahami suasana batin mereka yang
menyampaikan perkataan seperti itu.
Mengawal UU Desa.
Seiringan
ditepatkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, issue pendampingan desa
juga semakin santer diperbincangkan kalangan fasilitator pemberdayaan
masyarakat (FMP), utamanya Fasilitator PNPM. Hal ini wajar karena salah
satu misi UU Desa, sebagaimana tersirat dalam pertimbangan, adalah untuk
melindungi, menguatkan dan memberdayakan desa agar lebih maju, mandiri
dan demokratis.
Semangat pemberdayaan sangat mewarnai UU Desa.
Setidaknya terdapat 24 kata pemberdayaan dan puluhan kata yang semakna
menjejali uu desa ini. Sedangkan pendampingan selalu melekat sebagai
salah satu strategi dalam pemberdayaan.
Disamping itu, kucuran
dana desa yang begitu besar akan sangat berbahaya jika tanpa adanya
program pendampingan yang mengawalnya. Banyak pihak yang meragukan
profesionalitas dan integritas aparat desa dalam mengelola dana desa
ini. Atas keraguan itu, baik dari LSM, akademisi maupun DPR hingga Bank
Dunia merekomendasikan adanya pendampingan seiring implementasi UU Desa
yang berbasis pemberdayaan ini.
Pasal 1 UU Desa menegaskan
Istilah pemberdayaan masyarakat desa sebagai upaya mengembangkan
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan
pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta
memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan,
dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas
kebutuhan masyarakat Desa.
Konsepsi pendampingan desa ini,
lebih lanjut dijabarkan dalam PP 43 / 2014 Tentang Peraturan pelaksana
UU Desa pasal 128 - 131 dengan sub paragraf Pendampingan Masyarakat
Desa. Hal-hal baru yang diatur dalam pasal pendampingan antara lain.
Pertama:
Tugas pendampingan menjadi tugas dari jenjang pemerintah disemua level,
mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi hingga pemerintah
kabupaten (pasal 128 ayat 1). Namun pendampingan langsung / pendampingan
teknis hanya menjadi tugas SKPD kabupaten sebagai wilayah otonom
terdekat dengan desa (pasal 128 ayat 2). Camat sebagai kepanjangan
tangan dari pemerintah kabupaten, bertugas mengkoordinasikan
pendampingan masyarakat desa di wilayah kerjanya (pasal 128 ayat 3).
Dengan
demikian, jika sebelumnya makna pendampingan identik dengan tugas dari
tenaga pendamping profesional / fasilitator, maka sekarang pendampingan
masyarakat desa menjadi tugas dari pemerintah disemua level. Dalam
menjalankan tugas pendampingan, aparatur pemerintah tentu juga
memposisikan diri sebagai fasilitator. Istilah fasilitator kemudian
mengalami perluasan makna, tidak hanya menjadi monopoli kalangan FPM.
Kedua:
Fasilitator pemberdayaan masyarakat (FPM) dipertegas sebutannya sebagai
tenaga pendamping profesional yang terbagi atas pendamping desa,
pendamping teknis dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat. Tidak disebut
sebagai fasilitator, karena fungsi fasilitator bisa diperankan siapa
saja termasuk pemerintah.
Tenaga pendamping profesional
bertugas membantu peran pendampingan masyarakat desa yang menjadi tugas
dari pemerintah. Jika ternyata pemerintah melalui SKPD, dinilai sudah
mampu -dari sisi kualitas dan kuantitas- memposisikan diri sebagai
fasilitator, maka keberadaan tenaga pendampinh profesional ini tidak
diperlukan lagi.
Ketiga: Tenaga Pendamping Profesional yang
boleh direkrut untuk membantu tugas pendampingan masyarakat desa
hanyalah mereka yang memiliki sertifikasi kompetensi. Saat ini
satu-satunya lembaga sertifikasi profesi itu adalah LSP-FPM yang berdiri
atas prakarsa asosiasi profesi, pemerintah dan perguruan tinggi.
Sayangnya Tempat Uji Kompetensi (TUK) LSP ini masih sangat terbatas. Di
Jatim saja sampai dengan saat ini masih belum ada.
Keempat:
Istilah Pendamping desa bukanlah dimaksudkan untuk membatasi wilayah
tugas pendamping, melainkan sebagai sebutan bagi pendamping yang
direkrut untuk mengawal implementasi UU Desa. Pendamping dilevel desa
tetap dipegang oleh KPMD.
Dengan demikian, dalam satu
kecamatan bisa saja hanya akan ada 2 orang pendamping desa atau
menyesuaikan dengan jumlah desa dalam kecamatan terkait. Bukan setiap
desa harus ada pendamping desa. Jika ada asumsi bahwa pendamping desa
itu hanya mendampingi satu desa, tentu akan tumpang tindih dengan tugas
KPMD.
Sedangkan pendamping teknis adalah pendamping yang
secara khusus bertugas mendampingi desa dalam kaitannya pelaksanaan
program yang menjadikan desa sebagai sasarannya. Contoh PNPM.
Kelima:
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten punya hak
mengadakan tenaga pendamping profesional. Hak ini, dalam pelaksanaannya
tentu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan yang dimiliki.
Jika
yang melakukan rekrutmen pendamping adalah pemerintah, maka biaya
pengadaan dan penggajian pendamping berasal dari dipa kementerian.
Demikian juga provinsi dan kabupaten, maka dipa berasal dari anggaran
SKPD terkait.
Sedangkan dana desa hanya bisa dipakai untuk
melakukan pengadaan dan operasional dari KPMD. Pendamping desa atau
pendamping teknis tidak bisa digaji dari APBDesa, melainkan dari APBN
atau APBD.
Keenam: Kementerian Dalam Negeri berkewajiban
menyusun Pedoman pendampingan desa sebagai SOP pengelolaan pendamping
yang akan dipakai oleh pemerintah dan oemerintah daerah dalam mengelola
tenaga pendamping profesional. (Bersambung)
---------
Sumber: Kompas
Komentar
Posting Komentar